Makalah Maqomat Tasawuf
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Maqamat
Istilah maqam berarti kedudukan
hamba dalam pandangan Allah menurut apa yang diusahakan berupa ibadah, latihan
dan berjuang menuju Allah ‘Azza wa Jalla. Maqam menurut Abd Al- Razag Al-Qasany
adalah pemenuhan terhadap kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan. Apabila
seseorang tidak melakukan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan maka ia
tidak boleh naik ke jenjang yang lebih tinggi. Dari pengertian ini dapat
dikatakan bahwa keberhasilan seorang sufi itu merupakan penilaian yang berasal
dari Allah, dan mencerminkan kedudukan seorang salik dalam pandangan Allah.[1]
Ahwal
adalah jama' dari hal yang berarti keadaan atau situasi kejiwaan
(state). Secara terminology ahwal berarti keadaan spiritual yang menguasai
hati. Hal masuk dalam hati sebagai anugerah yang diberikan oleh Allah. Hal
datang dan pergi dari diri seseorang tanpa usaha ataupun perjalanan tertentu.
Karena hal datang dan pergi secara tiba-tiba dan tidak disengaja, maka
Al-Qusyairi mengatakan bahwa pada dasarnya maqamat adalah upaya
(makasib) sedangkan hal adalah karunia (mawahib) yang
diberikan Allah sehingga hal datang tidak ditentukan oleh waktu
tertentu.[2]
B.
Pondasi
Maqamat
Dalam memperoleh maqam tertentu , selain wajib
menjalankan berbagai bentuk ibadah, mujahadah, dan riyadhah, seorang salik(
para penempuh jalan tasawuf) harus
melakukan khalwah dan ‘Uzla dalam melaksanakan perjalanan spiritual menuju
Allah SWT. Praktik spiritual ini ermanfaat bagi salik seperti menghindarkan
diri dari semua sifat tercela, menghasilkan kemuliaan, mendekatkan diri kepada
Allah SWT dan mengobati hati .
Khalwah (menyepi adalah pemutusan hubungan dengan
makhluk menuju penyambungan hubungan dengan al-haqq. Khalwat atau suluk
merupakan masa merenung melihat diri sendiri untuk mengevaluasi perbuatan-perbuatan
yang sudah dilakukan. Sedangkan ‘uzlah ( mengasingkan diri) adalah menjaga
keelamatan diri dari niat buruk orang lain. Selamat berkhalwat, salik harus
berusaha membebaskan diri dari seluruh gangguan indrawi, gangguan batin dan
mendisiplinkan aspek-aspek heani dalam dirinya. Tujuan utama praktik ini adalah
pencapaian derajat kesempurnaan tertinggi.[3]
C.
Macam-macam Maqamat
Berikut merupakan macam-macam dari Maqamat:
1.
Taubah
Sebagai awal dari perjalanan yang harus dilakukan
oleh seorang Sufi ialah maqam taubah yang berasal dari bahasa Arab yaitu
taba yatubu taubatan yang artinya kembali. Sedang taubat yang
dimaksud oleh kalangan Sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan
disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi dosa tersebut yang
disertai melakukan amal kebajikan. Menurut Harun Nasution yang dikutip oleh
Abuddin Nata mengetakan taubah yang dimaksud oleh seorang Sufi adalah taubah
yang sebenarnya, taubah yang tidak membawa dosa lagi. ”Dan bertaubatlah kamu
sekalian kepada Allah, hai orang – orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
(QS. An-Nur, 24:31)
2.
Wara’
Secara harfiyah Al-Wara' artinya saleh, menjauhkan
diri dari perbuatan dosa. Dalam tradisi Sufi yang dimaksud dengan wara' adalah
meninggalkan sesuatu yang belum jelas hukumnya (subahat), hal ini berlaku pada
segala hal atau aktifitas manusia baik yang berupa benda maupun perilaku
seperti makanan, minuman, pakaian, pembicaraan, perjalanan, duduk, berdiri,
bersantai, bekerja dan lain-lain. “Barang siapa yang dirinya terbebas dari
syubahat, maka seseungguhnya ia telah terbebas dari yang haram.” (HR. Bukhari)
3.
Zuhud
Secara harfiyah Al-Zuhud berarti tidak ingin pada sesuatu
yang bersifat keduniawian. Dalam pandangan kaum Sufi, dunia dan segala isinya
adalah sumber segala kemaksiatan dan kemungkaran yang dapat menjauhkan diri
dari tuhan. Karena hasrat, keinginan dan nafsu seseorang sangat berpotensi
untuk menjadikan kemewahan dan kenikmatan duniawi sebagai tujuan hidupnya,
sehingga memalingkannya dari tuhan. Menurut Al-Junaidi yang dikutip oleh Hasyim
Muhammad mengatakan bahwa, zuhud adalah kosongnya tangan dari pemilikan dan
kosongnya hati dari pencarian. “Padahal kenikmatan hidup didunia ini
(dibandingkan kehidupan) akhirat hanyalah sedikit.” (QS. Al-Taubah, 9:38)
4.
Faqr
Secara harfiah faqr biasanya diartikan sebagai orang
yang berhajat, butuh ataupun orang miskin. Sedang menurut pandangan Sufi faqr
adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak
meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban kewajiban.
Tidak meminta sesungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak
meminta tetapi tidak menolak.
5.
Sabar
Secara harfiah biasanya sabar berarti tabah hati.
Menurut Zun Al-Nun Al-Mishry yang dikutip oleh Abuddin Nata, sabar artinya
menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi
tenang ketika mendapat cobaan, dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya
berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi.
Nafsu (nafs) memiliki kecendrungan untuk memaksakan
hasrat-hasratnya dalam upaya memuaskan diri. Sedangkan akal (aql) berperan
sebagai kekuatan pengendali dan penasehat yang senantiasa memberikan
pertimbangan kepada nafsu tentang tindakan-tindakan positif yang harus
dilakukan dan tindakan negatif yang harus ditinggalkan Agar manusi senantiasa
menempatkan akal sebagai dorongan yang mendominasi kehendak dan perilakunya,
maka diperlukan kesabaran (shabr). Dengan kata lain, kesabaran adalah kendaraan
bagi orang-orang yang menghendaki kebaikan. “Maka bersabarlah kamu seperti
orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul dan jangan kamu
meminta disegerakan (azab) bagi mereka.” (QS. Al-Ahqaf:35)
6.
Tawakkal
Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri.
Menurut Sahal bin Abdullah bahwa awalnya tawakkal adalah apabila seorang hamba
dihadapan Allah seperti bangkai dihadapan orang yang memandikannya, ia
mengikuti semaunya yang memandikan, tidak dapat bergerak dan bertindak. Hamdun
Al-Qashshar mengatakan bahwa tawakkal adalah berpegang teguh pada Allah.
“Dan bertawakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin bertawakkal” (QS. A-Maidah, 5:11)
“Dan bertawakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin bertawakkal” (QS. A-Maidah, 5:11)
7.
Ridla
Secara harfiah ridla artinya rela, suka, senang.
Ridla juga merupakan buah dari tawakkal, dimana jika seorang sufi telah
benar benar melaksanakan tawakkal maka dengan sendirinya ia akan sampai
pada maqam ridla. Dzunnun Al-Mishri berpendapat bahwa ridla adalah menerima
tawakkal dengan kerelaan hati. Adapun tanda-tandanya adalah mempercayakan hasil
pekerjaannya sebelum dating ketentuan, tidak resah sesudah terjadi ketentuan
dan cinta yang membara ketika tertimpa malapetaka.[4]
D.
Perbedaan Maqamat dan Ahwal
Maqamat adalah perjalanan spiritual yang diperjuangkan oleh para Sufi
untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan
spiritual yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu termasuk ego
manusia yang dipandang sebagai berhala besar dan merupakan kendala untuk menuju
Tuhan. Didalam kenyataannya para Saliki memang untuk berpindah dari satu maqam
ke maqam lain memerlukan waktu berbilang tahun, sedangkan "ahwal"
sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Contoh ahwal yang
sering disebut adalah : takut , syukur, rendah hati, ikhlas, takwa, gembira.
Walaupun definisi yang diberikan sering berlawanan makna, namun kebanyakan
mereka mengatakan bahwa ahwal dialami secara spontan dan berlangsung sebentar
dan diperoleh bukan atas dasar usaha sadar dan perjuangan keras, seperti halnya
pada maqamat, melainkan sebagai hadiah dari kilatan Ilahiah (divine flashes),
yang biasa disebut "lama'at".[5]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus
ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Maqam
dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan
sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Macam-macam
Maqamat yaitu Taubah, wara’, zuhud, Faqr, sabar, tawakkal, dan ridla.
Ahwal(hal) adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang
dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah
dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata.
Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi di
atas, maka tidak ada perbedaan, yang pada intinya, hal adalah
keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telah bersih dan suci. Hal berlainan dengan maqam, hal tidak
menentu datangnya, terkadang datang dan perginya berlangsung cepat, yang
disebut lawaih dan ada
pula yang datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebut bawadih.
[1] Ris’an
Rusli, Tassawuf dan Tarekat Studi
pemikiran dan Pengalaman Sufi, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2013), 54
[2] https://ass.com/2011/01/bab-ii3.docfud1428.files.wordpre di akses pada 15 desember
2017 pukul 11.00 WIB
[3] www.academia.edu/32307992/definisi_al-maqamat_dan _al-ahwal.pdf
di akses pada 15 desember 2017 pukul 13.00
[4] Mohammad Nasiruddin, Pendidikan Tassawuf,(Semarang: Rasail
Media Group, 2010), 83-98
[5] https://belajarilmutasawuf.blogspot.co.id/2011/10/maqam-dan-ahwal.html
Komentar
Posting Komentar