Ini dia Hulul dan wahdatul wujud
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dari Syekh
Al-Maliki, Al-Hallaj mengenal tasawuf dan zuhud dan kemudian melaksanakan
kehidupan zuhud yang sesungguhnya, namun pemikiran politik yang berbeda antara
al-Hallaj dan syekh al-Maliki membuat mereka harus berpisah. Yang memotivasikan
al-Hallaj hingga menemui syekh al-Baghdadi di Baghdad adalah rasa kehampaan
selama melaksanakan zuhud, al-Hallaj merasakan bahwa ada sesuatu yang belum dia
temukan dan wajib untuk dicari. Melalui syekh al-Baghdadi, al-Hallaj
menemukan jalan untuk melepaskan dahaga rohaninya, al-Baghdadi menyuruhnya
untuk menunaikan ibadah haji. Disaat melaksanakan ibadah haji, Al-Hallaj
menemukan sebuah ilham, bukan inspirasi, yang membawanya pada kesadaran
"penyatuan” antara dia dan Allah. Ilham itu sudah tentunya merupakan hal
pribadi yang tak tersentuh oleh orang yang tidak mengalaminya.Intisari dari
ilham yang dia temukan itulahyang disebut Wahdatul Wujud, untuk pertama kalinya.
Dengan kata
lain, Wahdatul Wujud lahir pertama kali di Tanah Suci, di saat al-Hallaj
menunaikan ibadah haji. Sepulang dari ibadah haji, al-Hallaj mengemukakan
pengalaman kerohaniannya, dalam sebuah konsep yang disebut dengan Hulul.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Hulul?
2. Siapa saja tokoh yang mengembangkan Hulul?
3. Apa saja dasar hukum hulul?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Hulul
Kata Al-Hulul, berdasarkan pengertian
bahasa berasal dari kata halla-yahlu-hululan yang berarti menempati. Al-Hulul
dapat berarti menempati suatu tempat. Jadi hulul secara bahasa berarti Tuhan
mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat
melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Adapun menurut
istilah ilmu tasawuf, Al-Hulul menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam
al-Luma’ sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham yang
mengatakan bahwa Tuhan telah memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
mengambil tempat didalamnya setelah sifat-sifat kemanusian yang ada dalam tubuh
itu dilenyapkan.
Al-Hulul mempunyai dua bentuk, yaitu :
a. Al-Hulul Al-Jawari
yakni keadaan dua esensi yang satu mengambil tempat pada yang lain (tanpa
persatuan), seperti air mengambil tempat dalam bejana.
b. Al-Hulul
As-Sarayani yakni persatuan dua esensi (yang satu mengalir didalam yang lain)
sehingga yang terlihat hanya satu esensi, seperti zat air yang mengalir didalam
bunga.
Al-hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap
dimana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Dalam hal ini hulul pada
hakikatnya istilah lain dari al-ittihad sebagaimana telah disebutkan diatas.
Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan secara batin. Untuk itu Hamka
mengatakan bahwa al-hulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma kedalam diri insan
(nasut0, dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci
bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.[1]
2. Tokoh Yang Mengembangkan Paham Al-Hulul
A. Husein bin Mansur al-Hallaj
Nama lengkapnya adalah Abu al-Mughits al-Husain ibn Manshur ibn
Muhammad al-Badawi. Beliau lahir di kota Thur, sebelah timur laut Baida, Persia
atau sekarang dikenal dengan Iraq. Dilahirkan pada sekitar tahun 244 H (857 M)
dan meninggal pada tahun 309 H (922 M).
Al-Hallaj
masuk kota Baghdad dan belajar pada al-Junaid yang juga seorang sufi. Selain
itu ia pernah juga menunaikan ibadah haji di Makkah selama tiga kali.Disaat melaksanakan ibadah haji, Al-Hallaj menemukan sebuah ilham,
bukan inspirasi, yang membawanya pada kesadaran "penyatuan” antara dia dan
Allah. Ilham itu sudah tentunya merupakan hal pribadi yang tak tersentuh oleh
orang yang tidak mengalaminya.Intisari dari ilham yang dia temukan itulah yang
disebut Wahdatul Wujud,
Dengan kata lain, Wahdatul Wujud lahir pertama
kali di Tanah Suci, di saat al-Hallaj menunaikan ibadah haji. Sepulang dari
ibadah haji, al-Hallaj mengemukakan pengalaman kerohaniannya, dalam sebuah
konsep yang disebut dengan Hulul. Hulul artinya bahwa Tuhan mengambil
tempat dalam diri manusia ketika manusia itu mengalami Fana’, sebuah proses
peleburan indrawi basyariyah.
Tanpa pemahaman apa-apa tentang hal ini, tanpa
membuatperbincangan, golongan Mu’tazilah dan Syi’ah kemudian menggelar akbar
bahwa al-Hallaj telah menyebarkan kesesatan terhadap umat Islam, khususnya
tentang ketauhidan. Apa yang disampaikan oleh al-Hallaj merupakan apa yang dia
ilhami dari proses tafakkurnya.Dan apa yang ditentang oleh kaum Mu’tazilah dan
Syi’ah adalah bahwa tidak benar Tuhan menempati diri manusia; tentu saja, jika
manusia masih dengan kesadarannya sebagai manusia, dan
terutama karena mereka belum faham apa yang dimaksud oleh al-Hallaj.Lagi pula,
menurut beberapa bacaaan, semua ini hanyalah sebuah alasan untuk mengeliminasi
al-Hallaj dari pemunculan politik saat itu. Al-Hallaj dicurigai dan dituduh
bersekongkol dengan sekelompok orang dalam upaya menjat uhakan pemerintah.
Al-Hallaj merupakan pemerhati moral politik, suatu saat ada sekelompok besar
yang melakukan demonstrasi menuntut adanya reformasi moral politik, dan masa
ini mengaku mendapatkan dukungan dari al-Hallaj, dan hal inimenyebabkan
al-Hallaj dipenjara selama kurang lebih sembilan tahun.
Pendek kata,al-Hallaj
dipenjara karena alasan politik, al-Hallaj dianggap tokoh yang paling
berbahaya karena berupaya menggulingkan pemerintahan; anehnya, al-Hallaj
sebenarnya menghabiskan waktunya untuk zuhud dan berdakwah, dan tidak ada
keuntungan baginya untuk menggulingkan kekuasaan siapapun karena dia tidak
tergolong orang yang cinta dunia.
Al-Hallaj
kemudian dijatuhi hukuman mati, walaupun dari pihak kerajaan sudah meminta
ampun untuk beliau, mengingat jasanya saat mengobati putra mahkota kerajaan.
Pada tahun 922 M, al-Hallaj disalib dan dipukuli dengan batu hingga darahnya
bercucuran dari kepala. Al-Hallaj dibiarkan separuh mati selama sehari, dan
akhirnya al-Hallaj dipenggal kepalanya .Ajaran al-Hallaj dikenal dengan kata
al-Hulul. Menurut al-Hallaj diantara hamba dan Tuhan terdapat garis
pemisah yang menegaskan hakikat masing-masing. Garis pemisah itu sangat
dekat, yaitu yang menyembah dan yang disembah (al-Abid wal Ma’bud). Pada
keadaan dimana ingatan hanya tertuju kepada Allah semata-mata, dan menolak selain
Allah, termasuk diri sendiri, maka al-Abid pun lenyap, dan tinggallah
al-Ma’bud. Kebaqaan al-Ma’bud merupakan hasil dari fana’nya al-Abid. Pada
titik inilah garis pemisah dan pembeza hakikat pun hilang, sehingga pada
hakikatnya yang menyembah dan yang disembah adalah satu.
Hanya saja,
orang tidak memahami bahwa yang dimaksud oleh al-Hallaj adalah al-Abid
melebur masuk kedalam al-Ma’bud, dan bukan al-Ma’bud merasuki tubuh al-Abid.
Jika kesadaran al-Abid masih zahir, maka tidak fana’lah dia, dan jika fana’
maka al-Ma’bud lahyang zahir dan al-Abid menjadi batin atau rahasia yang
tersembunyi dibalik kebesaran Allah Swt.[2]
B.
Abu Yazid
al-Busthami
Nama beliau adalah Abu Yazid Taifur ibn Isa
al-Bustami. Beliau dilahirkan di Bistam, Persia (Iraq) pada tahun 804 M.
Menurut beberapali bacaan, Abu Yazid merupakan pencetus pertama konsep
fana’ dan baqa’. Salah satu teorinya adalah al-Ittihad. Abu Yazid berguru
kepada salah seorang Syekh yang bernama Syekh Shaddiq yang mengajarkan
beliau prinsip-prinsip dasar tasawuf. Dari Syekh Shaddiq, Abu Yazid
mempelajari bahwa syariat dan hakikat merupakan pasangan yang tak terpisah
antara satu dan yang lain ;begitu pula sebaliknya, syariat dan hakikat.
Persoalan fana dan baqa akan saya paparkan pada
bagian kemudian secara ringkas. Ittihad, sebagaimana Hulul-nya al-Hallaj,
merupakan kesadaran rohani "bersatunya” hakikat Allah dan hakikat hamba
dalam prosesfana. Bahkan, penyatuan yang dimaksud bukanlah pernyatuan
rohani, apalagi jasmani. Penyatuan yang dimaksud adalah peleburan hakikat
hamba kepada hakikat Allah, laksana setetes air laut terjatuh ke dalam
samudra; atau dengan kacamata Ibnu Arabi kenyataan hamba yang hanya merupakan
titik melebur pada kenyataan Allah yang "menyamudra.”Pandangan Abu Yazid
ini dianggap menyesatkan, karena meniscayakanadanya penyatuan Allah dan hamba.
Ini dianggap sebagai menrunkan derajatAllah yang maha Mulia; menganggap Allah
sederajat dengan hamba merupakan pelecehan terhadap Allah.
Disinilah kesalah tafsiran para ulama pada saat
itu (hingga saat ini). Yang dimaksud dengan Hulul dan Ittihad bukanlah
menyamakan derajat Allah dan hamba, melainkan justru meniadakan hamba
sehingga yang ada hanyalah Allah semata. Diri sendiri merupakan sesuatu yang
boleh menghalangi kita sampai kepada Allah, sehingga untuk menyatakan Ujud
Allah, maka Wujud diri harus melebur, atau disebut dengan fana.[3]
C. Syaikh
Siti Jenar
Tuhan dalam pemahaman Syeikh Siti Jenar tidak
akan bisa didefenisikan dengan sempurna, karena pemahaman manusia maupun bahasa
yang digunakan oleh manusia tidak akan mampu mengungkap esensi tuhan. Namun
secara garis besar, dalam pandangan Syekh Siti Jenar, bahwa Tuhan adalah Dzat
yang melingkupi alam materi dan alam jiwa sekaligus. Sehingga wujud Tuhan tidak
mampu diindera oleh manusia dan makhluk lain yang diciptakan olehNya. Indera
manusia hanya bisa digunakan untuk mengindera hal-hal yang berwujud materi saja,
yang sangat terbatas jumlahnya. Dzat Tuhan yang juga melingkupi alam jiwa dan
alam esensi tak akan mampu diserap oleh indera. Maka dengan demikian, pemaknaan
tentang Tuhan tidak akan mampu menunjukkan kesejatian Tuhan. Oleh karena itu,
sangat wajar bila orang-orang yang gemar melakukan perjalanan spritual untuk
mencari esensi Tuhan, kemudian enggan untuk memaknai Tuhan itu sendiri. sebab
pemahaman maupun bahasa yang dugunakan oleh manusia tidak akan pernah mampu
untuk mengungkapkan esensi dan kesejatian dari Tuhan itu sendiri.[4]
Manusia dan makhluk lainnya dalam kacamata Syekh Siti
Jenar adalah bagian dari Tuhan. Sepertinya, yang dimaksud sebagai bagian dari
Tuhan ini adalah bahwa materi maupun jiwa yang dimiliki oleh manusia adalah
sebagian kecil dari materi dan esensi Tuhan. Sebab dalam kitab ajaran agama
Islam (Alquran) dikatakan bahwa Tuhan meniupkan sebagian ruh-Nya kepada manusia
pertama (Adam), sehingga dapat dikatakan manusia adalah bagian dari Tuhan itu
sendiri. Sehingga tidak salah jika materi dan jiwa pada alam ini disebut
sebagai makhluk, sebab mereka adalah makhluk baru yang timbul dari keqadiman
Tuhan.[5]
Jika dilihat lebih lanjut lagi, pandangan-pandangan yang
dilontarkan oleh Syaikh Siti Jenar ini memang sangat berbeda dengan kelaziman
karena disebabkan oleh pergumulan pencarian ilmu pengetahuannya yang dilakukan
di Baghdad yang pada saat itu merupakan sentral dari peradaban Islam, dimana
ilmu tasawuf sangat dominan dalam setiap kajian pengetahuan. Ditambah lagi
dengan adanya pengaruh ilmu filsafat ke dalam ajaran tasawuf tersebut. sehingga
faham ketuhanan yang dipegangi oleh Syekh Siti Jenar tersebut, yang sebelumnya
diformulasikan antara ajaran tasawuf yang dipadukan dengan ilmu filsafat dan
logika, menimbulkan ketidaklaziman dalam masyarakat umum atau awam. Karena
ajaran yang semula rahasia tersebut yang didasarkan pada pengetahuan intuitif
menjadi kian terbuka dengan pembahasan yang filosofis. Sebab baginya,
pengetahuan makrifat (gnostik) yang bersifat supra-rasional tidak harus
dijabarkan dengan sistem isyarat (kode) yang bersifat mistis dan tidak bisa
dipertanggungjawabkan secara akal sehat. Sebaliknya pengetahuan tersebut
seharusnya dijelaskan secara rasional dan bisa diterima oleh akal.[6]
Selain itu, pandangan-pandangan dari Syaikh Siti Jenar
ini juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Ibnu Arabi dan Al-Hallaj. bahwa
segala sesuatu yang diungkapkan oleh Syekh Siti Jenar kala itu jelas sangat
dipengaruhi oleh kedua tokoh tersebut. Dimana keduanya juga terkenal dengan
ajaran tasawuf yang menggunakan pendekatan ilmu filsafat dan logika. Sehingga
ketika hal tersebut dibawa ke kalangan masyarakat umum atau awam, maka akan
dengan serta merta menimbulkan sebuah kesalahpahaman yang kemudian menjadi
titik balik dari ajarannya.[7]
Sebagaimana ajaran Al-Hallaj tentang hulul, sepertinya
Syaikh Siti Jenar juga mengajarkan bahwa penciptaan alam semesta ini tidak lain
dikarenakan Allah ingin menyaksikan diri-Nya di luar diri-Nya sebagaimana bunyi
dari hadits qudsi berikut, yang artinya: ‘Aku adalah perbendaharaan harta yang
tersembunyi, lalu Aku ingin dikenal maka Aku menciptakan makhluk.[8]
Semua yang ada adalah Dzat Allah semata dalam pandangan
Syekh Siti Jenar, maka saat Allah menciptakan alam semesta, tidaklah dengan
Dzat lain melainkan dengan Dzat-Nya sendiri (atau dengan kata lain terjadi
proses emanasi di dalamnya, sebgaimana teori Al Farabi dan juga Ibnu Arabi
tentnag emanasi ini). Dimana lewat ciptaan-Nya ini, Allah kemudian menyaksikan
diri-Nya sendiri. Dengan pandnagan yang demikian, sebagaimana juga Ibnu Araby,
Syaikh Siti Jenar sepertinya meyakini bahwa di dalam semua ciptaan Tuhan (khalq),
tersembunyi anasir sang pencipta (Haq). Dimana dalam hal ini khalq
disebut sebagai yang dzahir dan Haq disebut yang bathin.
Sehingga, khalq adalah wujud yang tergantung pada wujud Tuhan yang
mutlak. Tanpa wujud yang mutlak dari Tuhan, tidak akan ada khalq yang
maujud. Artinya bahwa yang memiliki wujud yang hakiki dalam pandangan Syaikh
Siti Jenar ini adalah Tuhan, sedanagkan khalq (ciptaan) hanyalah
merupakan bayangan maya dari tuhan itu sendiri.[9]
Ajaran Syaikh Siti Jenar ini, yang di pulau Jawa dikenal
dengan sebutan manunggaling kawula lan gusti, sejatinya menanamkan suatu
pemahaman ketuhanan yang dapat dikatakan sebagai ajaran yang menyatakan bahwa
semua makhluk di dunia ini pada hakikatnya sama di hadapan Tuhan, baik dia
seorang raja, wali, atau fakir miskin. Karena mereka semua adalah hijab
dari Tuhan. Itulah sebabnya, meskipun manusia berkedudukan sebgaai raja atau
pejabat lainnya, jika tidak mengetahui hakikat sejati dari kehidupan, maka
mereka akan jatuh ke dalam kekosongan ukhrawiah. Sebaliknya, meski orang
tersebut di hadapan manusia yang lain adalah hina papa, semisal pemulung atau
para pengemis, jika mereka telah waskita dan memiliki pemahaman yang utuh tentang
hakikat kehidupan yang sejati, dimana telah memahami betul makna ketunggalan
dari khalq (ciptaan) dan Haq (pencipta) tadi, maka mereka akan
memperoleh kehidupan yang abadi.[10]
3.
Dasar Hukum Hulul
Ajaran hulul memiliki dasar dan landasan,
Dalil-dalil dalam al-Qur’an, misalnya sebagai berikut:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ
اسْجُدُوا لِآَدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ
الْكَافِرِينَ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat:
Sujudlah kalian
kepada Adam, maka mereka pun sujud,
kecuali Iblis, ia enggan dan takabur dan
adalah ia termasuk golongan yang kafir.”(Q.S
Al-Baqarah: 34).[11]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Asmara
AS,2002,Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kandito,
Argawi, 2012, Pengakuan-pengakuan Syaikh Siti Jenar, Pustaka Pesantren,
Yogyakarta.
M. Sobirin dan Rosihan Anwar,2000,Kamus
Tasawuf, Bandung: Remaja Rosda Karya.
Sunyoto, Agus, 2002, Suluk Abdul Jalil, buku
I, LKiS, Yogyakarta.
Zahri, Mustafa, 1979, Kunci Memahami Ilmu
Tasawwuf, Bina Ilmu, Surabaya.
Zoetmulder,
P. J, 1991, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra
Suluk Jawa; Suatu Studi Filsafat, Gramedia, Jakarta.
[1]M. Sobirin dan Rosihan Anwar, Kamus
Tasawuf, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000, hlm. 224
[2]http://raunsabalik.ucoz.com/news/wahdatul_wujud_124_dari_al_hallaj_hingga_syeikh_siti_jenar/2013-03-06-44
(diakses pada 26 November 2017 pukul 11:44 WIB)
[3]http://raunsabalik.ucoz.com/news/wahdatul_wujud_124_dari_al_hallaj_hingga_syeikh_siti_jenar/2013-03-06-44
(diakses pada 26 November 2017 pukul 11:44 WIB)
[4]Argawi kandito,Pengakuan-pengakuan
Syaikh Siti Jenar, Pustaka Pesantren:Yogyakarta,2012,hal 69-70
[7]Zoetmulder, P. J, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan
Monisme dalam Sastra Suluk Jawa; Suatu Studi Filsafat, Gramedia:
Jakarta,1991.
[8]Mustafa zahri,Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf, Bina Ilmu:Surabaya,1979,hal
223.
[9]Agus sunyoto, Suluk Abdul Jalil, buku I, LkiS:Yogyakarta,2011,hal
175.
[10]Zoetmulder, P. J, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan
Monisme dalam Sastra Suluk Jawa; Suatu Studi Filsafat, Gramedia:
Jakarta,1991.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tasawuf adalah
salah satu aspek dari kehidupan kerohanian yang paling subur pertumbuhan dan
perkembangannya di dunia Islam. Pada mulanya tasawuf itu hanya berisi
ajaran-ajaran agar orang dapat sedekat mungkin dengan Allah Swt. Setelah itu,
tasawuf berisi agar orang dapat memperoleh ma’rifat kepada Allah melalui
pengamalan empiris dan kasyf. Dalam perkembangan selanjutnya, tasawuf berisi
ajaran-ajaran yang asing dan kontroversial bagi Islam, salah satunya adalah
wahdat al- wujud.
Ajaran wahdat
al-wujud berasal dari ajaran Ibn ‘Arabi, seorang tokoh sufi yang tidak hanya
menguasai ilmu-ilmu syari’at, tetapi juga menguasai teori-teori filsafat yang
ada pada masanya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian wahdatul wujud ?
2.
Sejarah lahirnya paham wahdatul
wujud ?
3.
Bagaimana konsep wahdatul wujud menurut para
ahli ?
4.
Bagaimana cara mengimplementasikan
wahdatul wujud ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Wahdatul Wujud
Secara bahasa,
wahdatul wujud terambil dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata
yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal
atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Al wujud yang dimaksud disini adalah Allah dan kata al-wujud
hanya dimiliki oleh Allah. Kata al-wujud tidak bisa dilekatkan pada
makhluk atau sesuatu selain Allah. Karena selain Allah itu bersifat sementara.
Sedangkan, secara istilah wahdat al-wujud bisa diartikan kesatuan wujud
(Allah) atau satu-satunya wujud hanyalah Allah (laa maujuda illallah).[1]
Kata wujud merupakan bentuk masdar dari wajada atau wujida. Kata wujud mempunyai pengertian objektif dan juga subjektif.
Dalam pengertian objektif, kata
wujud adalah masdar dari wujida yang
artinya ditemukan.
Sedangkan, dalam pengertian subjektif,
kata wujud adalah masdar dari kata wajada,
yang berarti ditemukan, dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan
finding.[2]
Pengertian
sebenarnya adalah merupakan penggambaran bahwa Tuhan-lah yang menciptakan alam
semesta beserta isinya. Allah adalah Sang Khalik, Dia-lah yang telah
menciptakan manusia, Dia-lah Tuhan dan kita adalah bayangannya. Dari pengertian
yang hampir sama, terdapat pula kepercayaan selain wahdat al-wujud,
yaitu Wahdatul Syuhud. Pengertiannya yaitu “Kita dan semuanya adalah
bagian dari dzat Allah”.[3]
Faham wahdatul
wujud dalam tasawuf berarti faham yang menyatakan bahwa yang ada itu hanya satu
yaitu Tuhan. Allah dan alam adalah satu hakikat. Makhluk hanyalah bayangan dari
wujud yang hakiki sehingga tidak ada yang
wujud selain Allah.[4] Ajaran wahdatul
wujud ini mirip dengan ajaran al-Hulul dan al-Hallaj. Kalau dalam al-hulul,
Allah menemptkan diri dalam tubuh manusia disebut lahut, sedangkan dalam
wahdatul wujud disebut al-haq.[5]
B.
Sejarah
Lahirnya paham Wahdatul Wujud
Paham ini
merupakan perluasan dari paham hulul, yang dibawa oleh Muhyi al-Din ibn arabi
kelahiran Spanyol pada tahun 560 H. Dan meninggal pada tahun 638 H di
Damaskus.paham Wahdatul wujud diajarkan oleh Muhy Al-qin ibnu arabi. Dia lahir
dikota Murcia Spanyol pada tahun 1165 M. Ibnu Arabi belajar di Seville,
kemudian setelah selesai pindah ke Ruris. Disana ia mengikuti dan memperdalam
aliran sufi. Menurut pemikiran tasawufnya, bahwa tuhan ingin melihat diri-Nya
ari luar diri-Nya maka dijadikan-Nya alam, alam merupakan crmin bagi tuhan.
Pada benda-benda yang ada dalam alam karena esensinya ialah sifat ketuhanannya.
Tuhan melihat dirinya. Dari sini timbul faham kesatuan wujud. Yang banyak dalam
alam ini hanya dalam penglihatan banyk, pada hakikatnya itu semua adalah satu.
Dikatakan
paham ini merupakan perluasan dari konsepsi al-hulul adalah karena nasut yang
ada dalam hulul ia ganti dengan khalq(makhluk), sedang lhut menjadi
al-haqq(tuhan). Khalq dan al-haqq adalah dua sisi bagi sesuatu, dua aspek
lahirnya disebut khalq dan aspek batinnya disebut al-aqq. Dengan demikian
segala sesuatu yang ada ini mengandung aspek lahir dan aspek batin atau terdiri
dari ‘ard dan jauhar. Aspek khalq atau aspek luar memiliki sifat kemkhlukan
atau nasut sedangkan aspek batin atau al-haqq memiliki sifat ketuhanan atau
lahut.
Tiap-tiap yang
bergerak tidak lepas dari kedua aspek itu, yaitu sifat ketuhanan dan sifat
kemanusiaan. Tetapi aspek yang terpenting ialah aspek batinnya atau aspek
al-haqq dan aspek ini merupakan hakikat dari tiap-tiap yang wujud. [6]
C.
Tokoh-tokoh Wahdatul Wujud
1.
Ibnu ‘Arabi
Faham wahdatul wujud yang
pertamadikemukakan oleh sufi terkemuka, Ibn ‘Arabi, yang lahir di Murcia,
Andalusia pada 560 H/1165 M. dan wafat di Damaskus, Syam pada 638 H/1240 M.[7]
Ajaran tasawuf-falsafi tentang
wahdatul wujud yang dipelopori oleh Ibn ‘Arabi ini muncul dari sebuah hadist
yang oleh sebagian pakar dinilai sebagai hadist qudsi, yang menerangkan
keinginan Allah melihat diri-Nya diluar diri-Nya, untuk itu ciptaan alam ini
yang merupakan cerminan dari Allah. Apabila Allah mau melihat diri-Nya, maka Ia
cukup melihat kepada alam, sebab dalam alam ini terdapat sifat ketuhanan.[8]
Istilah wahdatul wujud yang digunakan untuk menyebut ajaran sentralnya tersebut
berasal dari Ibnu Taimiyah, tokoh yang paling mengecam dan mengkritik ajaran
sentralnya tersebut atau setidaknya tokoh itulah yang telah berjasa
mempopulerkannya ke tengah masyarakat Islam, meskipun tujuannya negatif.
Menurut Ibnu Taimiyah, wahdatul wujud itu adalah penyamaan Tuhan dengan alam.
Menurut penjelasannya, orang-orang yang menganut wahdatul wujud mengatakan
bahwa wujud adalah satu dan wajib al-wujud yang dimiliki oleh Khaliq adalah
juga mumkin al-wujud yang dimiliki oleh makhluk. Selain itu, orang-orang yang
berpaham wahdatul wujud itu juga mengatakan bahwa wujud alam satu dengan wujud
Tuhan, tidak ada kelainan dan tidak ada perbedaan.
Dari pengertian yang dikemukakan
oleh Ibnu Taimiyah tersebut bahwa Ibnu Taimiyah telah menilai ajaran sentral
Ibnu ‘Arabi itu dari aspek tasybihnya saja, belum menilainya dari aspek
tanzihnya. Akan tetapi, perlu disadari pula bahwa kata-kata Ibnu ‘Arabi sendiri
banyak yang membawa kepada pengertian seperti yang dipahami oleh Ibnu Taimiyah
meskipun di tempat lain terdapat kata-kata Ibnu ‘Arabi yang membedakan antara
Khaliq dengan makhluk dan antara Tuhan dengan alam.
Menurut Ibnu ‘Arabi, wujud semua
yang ada ini hanya satu dan wujudnya makhluk adalah ‘ain wujudnya Khaliq. Tidak
ada perbedaan antara keduanya itu dari segi hakikat. Selain itu, Ibnu ‘Arabi
juga mengatakan bahwa wujud alam adalah ‘ain wujud Allah dan Allah adalah
hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang disebut Khaliq
dengan wujud yang baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan antara ‘abid
dengan ma’bud. Bahkan, ‘abid dan ma’bud atau antara yang menyembah dan yang
disembah adalah satu. Untuk pernyataan tersebut Ibnu ‘Arabi mengemukakannya
lewat syairnya, yang artinya sebagai berikut:
“Hamba adalah Tuhan, dan Tuhan
adalah hamba.
Demi syu’ur
(perasaan) ku, siapakah yang mukallaf
Jika Engkau
katakan hamba, padahal dia Tuhan
Atau Engkau
katakan Tuhan, yang mana yang diberi taklif.”[9]
Selanjutnya, Ibnu ‘Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dengan alam.
Menurutnya, alamini adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki dan alam
itu tidak mempunyai wujud yang sebenarnya. Karena itu, ala mini
merupakan tempat tajalli dan mazhar
(penampakan) Tuhan. Menurut Ibnu ‘Arabi,
ketika Allah menciptakan alam ini, ia juga memberikan sifat-sifat ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang
buram dan seperti badan yang
tidak bernyawa.
Karena itu, Allah
menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu. Dengan pernyataan lain, alam ini merupakan mazhar
(penampakan) dari asma dan sifat Allah
yang terus menerus. Tanpa
alam, sifat dan sama-Nya itu akan kehilangan maknanya dan senantiasa dalam bentuk
zat yang tinggal dalam kemujjaradan-Nya yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapa pun.
Dalam Fushush
al-Hikam Ibnu ‘Arabi menjelaskan hal tersebut dengan ungkapan:
“wajah itu hanya satu, namun jika anda perbanyak cermin ia pun menjadi banyak.”
Untuk memperkuat perdiriannya itu, Ibnu ‘Arabi merujuk kepada sebuah hadist Qudsi yang
berbunyi:
“Aku pada mulanya adalah perbendaharaan yang
tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka ku ciptakan makhluq. Lalu dengan
itulah mereka mengenal Aku.”
Dari kutipan-kutipan di atas, terlihat bahwa Ibnu ‘Arabi masih membedakan antara Tuhan dan alam, dan wujud Tuhan tidak sama dengan wujud alam. Meskipun
di satus dia mengesankan telah menyamakan Tuhan dengan alam, tetapi
di sisi lain ia telah menyucikan Tuhan dari adanya persamaan.
Dari konsep wahdatul wujud Ibnu ‘Arabi ini muncul lagi dua konsep yang
sekaligus merupakan lanjutan atau cabang dari konsep wahdatul wujud tersebut,
yaitu konsep tentang hakikat al-Muhammadiyah dan konsep tentang wahdat al-Adyan
(kesatuan agama). Menurutnya, Tuhan adalah Pencipta alam semesta.
Adapun proses penciptaannya adalah sebagai berikut:
·
Pertama, Tajallizat Tuhan dalam bentuk-bentuk a’yantsabitah.
·
Kedua, Tanazulzat Tuhan pada alamma’ani kepada ta’ayyunat
(realitas-realitas) kerohanian, yaitu alam arwahyanhmujjarad.
·
Ketiga, Tanazul kepada realitas-realitas nafsiah, yaitu
lama nafsiyah yang berpikir.
·
Keempat, Tanazul Tuhan dalam bentuk ide
materi yang bukan materi, yaitu alam mitsal (ide)
atau alam khayal.
·
Kelima, alam materi, yaitu alam indrawi.
Terjadinya alam semesta ini tidak bisa di pisahkan dari ajaran Haqiqat Muhammadiyah atau Nur Muhammad.
Menurutnya, tahapan-tahapan proses penciptaan alam semesta ini dalam hubungannya dengan Haqiqat Muhammadiyah adalah sebagai berikut:
Pertama, wujud Tuhan sebagai mutlak, yaitu zat yang
mandiri, tanpa berhajat kepada suatu apapun. Kedua,
Wujud Haqiqat Muhammadiyah sebagai emanasi pertama dari wujud Tuhan dan dari sini
kemudian muncul segala yang wujud dengan proses tahapan-tahapannya sebagaimana
yang telah dikemukakan di atas.
Dengan demikian, Ibnu
‘arabi menolak ajaran yang
mengatakan bahwa alam semesta ini dari tiada (creatio
ex nihilo). Selanjutnya, ia mengatakan bahwa Nur Muhammad itu qadim dan merupakan
sumber emanasi dengan berbagai macam kesempurnaan ilmiah dan alamiah . Adapun yang
berkenaan dengan konsepnya tentang wahdat
al-Adyan (kesatuan agama) adalah sumber-sumber
agama satu, yaitu Haqiqat Muhammadiyah.
Konsekuensinya, semua agama adalah tunggal dan semuanya itu kepunyaan
Allah.[10]
2.
HamzahFansuri
Tokoh wahdatul wujud yang
keduaya itu Hamzah Fansuri.
Beliau adalah seorang ulama sufi dan sastrawan yang
hidup di abad ke-16 dan ke-17 di Kesultanan Aceh. Hamzah Fansuri pada akhir abad ke-16 dan
ke-17 memperkenalkan ajaran Tasawuf Wujuddiyah.
Ajaran Wujuddiyah membahas tentang wujud Tuhan dan wujud manusia atau makhluk-Nya
yang lain. Dalam faham Wujuddiyah yang dibawa Hamzah Fansuri, di temukan adanya
aspek-aspek yang sama dengan konsep ibnu ‘Arabi dan al-Hallaaj Hamzah Fansuri sebagaimana
Ibnu ‘Arabi berpendapat bahwa alam tidak terjadi dari tidak ada (Creatio ex Nihilo), akan tetapi terjadi dari sesuatu
yang telah ada dalam diri Tuhan. Diantara ajarannya bahwa tidak ada perbedaan antara hakikat hamba dengan Tuhan . Menurut paham ini, tiap-tiap
yang ada mempunyai dua aspek, yaitu:
a.
Aspek luar, yang
merupakan ‘arddan khaliq yang
mempunyai sifat kemakhlukan.
b.
Aspek dalam, yang
merupakan jauhar dan haq yang
mempunyai sifat ketuhanan.
Dengan kata lain, tiap-tiap yang
berwujud itu mempunyai sifat ketuhanan dan sifat kemakhlukan.
Faham ini muncul dari pendapat bahwa Allah
itu ingin melihat diri-Nya. Oleh karena itu, dijadikannya alam ini, ala m ini
merupakan cermin bagi Allah dikala Dia ingin melihat diri-Nya, Ia ingin melihat
pada alam, dan benda-benda yang ada di dalamnya, karena benda-benda itu mempunyai
sifat ketuhanan.
Hamzah Fansuri juga berpendapat bahwa antara hakikat dan syari’at itu berbeda. Hal
ini tercermin ketika Hamzah Fansuri menganggap perbedaan antara Tuhan dan alam dalam segi syari’at,
tetapi dalam pandangan hakikat keduanya sama. Jadi,
menurutnya wujud Tuhan, zat dan hakikat Tuhan sama dengan wujud zat dan hakikat alam.[11]
Berikut merupakan pokok-pokok pemikiran
Hamzah Fansuri Tasawuf wahdatulwujud atau wujuddiyah:
A.
Allah
Allah adalah Dzat yang
mutlak dan qadam, sebab Dia-lah yang
pertama dan pencipta alam semesta beserta isinya. Ketika
menjelaskan ayat “fainnamatuwallu fa tsammawajhu’llah” ia katakan bahwa kemungkinan
untuk memandang wajah Allah swt. dimana-mana merupakan uniomistica. Para
sufimenafsirkan “wajah Allah SWT” sebagai sifat-sifat Tuhan, seperti Pengasih,
Penyayang, Jalal dan Jamal.
a.
Hakikat wujud dan pencipta
Menurutnya, wujud itu hanyalah satu walaupun kelihatan banyak. Ada
yang merupakan kulit (kenyataanlahir) dan merupakan isi
(kenyataanbatin).
b.
Manusia
Walaupun manusia sebagai tingkat terakhir dari penjelmaan,
tetapi ia adalah tingkat yang
paling penting dan merupakan penjelmaan
yang paling penuh dan sempurna. Ia adalah aliran atau pancaran langsung dari Dzat yang
mutlak. Ini menunjukkan adanya semacam kesatuan antara Allah
dan manusia.[12]
B.
Implementasi
paham Wahdatul wujud
Setelah
diapaparkan pengertian keterkaitan konsep wahdatul wujud yang bertujuan agar
manusia menjadi insan kamil melalui proses sufistis dengan client yang datang
kepada konselor ialah konsep penenangan
diri dalam rangka menemukan masalah yang ia alami menjadi manusia yang mandiri
dan bebas. Prinsip yang khas dan dapat di implementasikan dari teori ini adalah
ketauladanan yang sejati, atinya apa yang konselor lakukan dapat benar benar
dipahami.
Konsep manusia
yang sehat menurut tasawuf ini ialah manusia yang sudah mencapai derajat insan
kamil, sebaliknyamanusia yang sakit ialah manusia yang ragu terhadap sang
penciptanya. Apabila semua orang menerapkan maqom ini, dunia mungkin terlihat
aneh, tidak ada aktivitas. Kehidupan akan terasa hampa seperti tidak ada penghuninya.
Wahdatul wujud
sebagai suatu ilmu mempunyai metode, dengan metode itulah fungsi dan tujuan
serta aplikasi yang esensial dari ilmu ini dapat tercapai dengan baik, benar
dan ilmiah. Terhadap seorang konselor pemahaman yang dapat ia terapkan dalam
membantu kliennya maka ia harus mempunyai keyainan yang dapat diraih melalui :
ilmul yaqin ‘ainul yaqin, haqqul yaqin serta kamalul yaqin.
Adapun
prinsip-prinsip yang dapat dipahami dalam tasawuf ibnu arabi ini dalam
pelaksanaan konseling maupun psikoterapi islam ialah prinsip tauhid, prinsip
tawakal, prinsip syukur, prinsip sabar, prinsip taubat nasuha, prinsip hidayah
alloh dn prinsip zikrulloh. Prinsip-prinsip yang khas dan dapat
diimplementasikan dari teori ini adalah sebagai berikut :
a.
Harus ada kesabaran yang tinggi
dari konselor
b.
Konselor harus menguasai akar
permasalahan dan terapinya dengan baik
c.
Saling menghormati dan menghargai
d.
Bukan tujuan dan mengalahkan klien
mencari kebenaran
e.
Rasa persaudaraan dan penuh kasih
sayang
f.
Ttur kata dan bahasa yang mudah
dipahami dan halus
g.
Tidak menyinggung perasaan klien
h.
Mengemukakan dalil Al-Quran dan
as-sunnah dengan tepat dan jelas.
i.
Ketauladanan yang sejati. Artinya
apa yang konselor lakukandalam prose
j.
Konseling benar dipahamidan
diimplementasikan dan dialami konselor.[13]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Faham wahdatul wujud dalam
tasawuf berarti faham yang menyatakan bahwa yang ada itu hanya satu yaitu
Tuhan. Allah dan alam adalah satu hakikat. Makhluk hanyalah bayangan dari wujud
yang hakiki sehinggatidak ada yang wujud selain Allah. Paham ini merupakan
perluasan dari konsepsi al-hulul adalah karena nasut yang ada dalam hulul ia
ganti dengan khalq(makhluk), sedang lhut menjadi al-haqq(tuhan). Khalq dan
al-haqq adalah dua sisi bagi sesuatu, dua aspek lahirnya disebut khalq dan
aspek batinnya disebut al-aqq. Dengan demikian segala sesuatu yang ada ini
mengandung aspek lahir dan aspek batin atau terdiri dari ‘ard dan jauhar. Aspek
khalq atau aspek luar memiliki sifat kemkhlukan atau nasut sedangkan aspek
batin atau al-haqq memiliki sifat ketuhanan atau lahut.
Ajaran tasawuf-falsafi tentang wahdatul wujud yang dipelopori oleh
Ibn ‘Arabi muncul dari sebuah hadist yang oleh sebagian pakar dinilai sebagai
hadist qudsi, yang menerangkan keinginan Allah melihat diri-Nya diluar
diri-Nya, untuk itu ciptaan alam ini yang merupakan cerminan dari Allah.
Apabila Allah mau melihat diri-Nya, maka Ia cukup melihat kepada alam, sebab
dalam alam ini terdapat sifat ketuhanan. Hamzah Fansuri sebagaimana Ibnu ‘Arabi
berpendapat bahwa alam tidak terjadi dari tidak ada (Creatio ex Nihilo), akan tetapi
terjadi dari sesuatu yang telah ada dalam diri Tuhan. Diantara ajarannya bahwa tidak ada perbedaan antara hakikat hamba dengan Tuhan.
Prinsip-prinsip
yang khas dan dapat diimplementasikan dari teori ini adalah sebagai berikut :
a.
Harus ada kesabaran yang tinggi
dari konselor
b.
Konselor harus menguasai akar
permasalahan dan terapinya dengan baik
c.
Saling menghormati dan menghargai
d.
Bukan tujuan dan mengalahkan klien
mencari kebenaran
e.
Rasa persaudaraan dan penuh kasih
sayang
f.
Ttur kata dan bahasa yang mudah
dipahami dan halus
g.
Tidak menyinggung perasaan klien
h.
Mengemukakan dalil Al-Quran dan
as-sunnah dengan tepat dan jelas.
i.
Ketauladanan yang sejati. Artinya
apa yang konselor lakukandalam proses.
j.
Konseling benar dipahamidan
diimplementasikan dan dialami konselor.
B. Penutup
Puji syukur
Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
kekuatan, hidayat dan taufik-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan makalah
ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Baginda Rasulullah
Muhamad SAW yang kelak kita harapkan syafa’atnya di hari kiamat. Aamiin.
Penulis
menyadari meskipun dalam penulisan makalah ini telah berusaha semaksimal
mungkin, namun makalah ini tidak lepas dari kesalahan dan kekeliruan. Hal itu
merupakan keterbatasan ilmu dan kemampuan yang penulis miliki. Penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak untuk
perbaikan di masa yang akan datang. Semoga makalah ini
dapat menjadi manfaat bagi pembacanya dan menjadi sumbangsih yang positif dalam
dalam penelitian pembaca kedepan. Aamiin
[1] Syah Reza, “Kontroversi Istilah Wahdatul
Wujud”, diakses dari http://inpasonline.com/kontroversi-istilah-wahdatul-wujud/, pada 20 November pukul 20:35
[2] Yulya Sari, “KonsepWahdatulWujud”,
diskasesdari repository.radenintan.ac.id, pada 1 Des. 2017 pukul 08:29
[3] Wikipedia, “Wahdatul Wujud”, diakses dari https://id.m.wikipedia.org/wiki/Wahdatul_Wujud, pada 20 November pukul 20:10
[5] M. Alfatih Suryadilaga, dkk, “Ilmu Tasawuf”,
(Yogyakarta: KALIMEDIA, 2016), hlm.201-202
[9] Prof. Dr. H. Ris’an Rusli, M.A., “Tasawuf dan
Tarekat”, (Palembang: PT RAJAGRAFINDO PERSADA”, 2013), hlm. 137-138
[11]FauzulMustaqim, “TasawufWahdatulWujud”,
diaksesdarihttp://www.fauzulmustaqim.com, pada 1 Desember 2017 pukul 07.40
[12]Yulya Sari, “KonsepWahdatulWujud”,
diskasesdari repository.radenintan.ac.id, pada 1 Des. 2017 pukul 08:11
[13]Akhmadmustofa.1997. akhlak tasawuf. Bandung:CV Pustaka Setia. Hal : 180-182
Komentar
Posting Komentar