Khauf dan raja'





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
         Kehidupan manusia di dunia tujuannya tidak lain hanya untuk beribadah kepada Allah swt, sebagaimana telah dijelaskan dalam firman-Nya; “ Dan tidak Aku (Allah) ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku (Allah)” . Maka dari itu wajib bagi kita untuk mendekatkan diri kepada Allah swt yaitu dengan beribadah kepada-Nya. Adapun tata cara beribadah telah dicotohkan oleh rasul-Nya Muhammad saw. Adapun hakikat beribadah adalah wushul (sampai) kepada Allah swt. Terdapat tujuh tahapan untuk bisa mencapainya yaitu; tahapan ilmu, tobat, rintangan, godaan, pendorong, penoda dan perusak ibadah, dan tahapan puji dan syukur.
         Dalam kesempatan kali ini kami akan mencoba menguraikan tentang tahapan yang kelima yaitu tahapan pendorong yang di dalamnya berisi tentang berharap kepada Allah swt (al-raja’) dan takut kepada-Nya (al-khauf).

B.     Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian al-khauf  dan al-raja’ ?
2.    Apa saja dasar Al Quran tentang al-khauf  dan al-raja’ ?
3.    Apa hakikat al-khauf  dan al-raja’ ?
4.    Apa manfaat dari al-khauf  dan al-raja’ 
?

C.   Tujuan Penulisan
1.    Untuk dapat mengetahui pengertian al-khauf  dan al-raja’.
2.    Untuk dapat mengetahui dasar Al Quran tentang al-khauf  dan al-raja’
3.    Untuk dapat memahami hakikat al-khauf  dan al-raja’.
4.    Untuk dapat mengetahui dasar dari al-khauf  dan al-raja’.





BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Khauf Dan Raja’
1.      Pengertian Khauf
         Secara bahasa khauf artinya perasaan takut yang muncul terhadap sesuatu yang mencelakakan, berbahaya atau mengganggu.[1]
         Secara istilah khauf  adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya, takut atau khawatir kalau-kalau Allah tidak senang padanya. Khauf timbul karena pengenalan dan cinta kepada Allah yang mendalam sehingga ia merasa khawatir kalau Allah melupakannya atau takut kepada siksa Allah .[2]
         Adapun para ulama tasawuf mengemukakan makna khauf adalah sebagai berikut :
a)      Hasan al Bashri
        Khauf  adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah SWT karena kurang sempurnanya pengabdiannya. Takut dan khawatir kalau-kalau Allah tidak senang kepadanya.
b)     Bishr al-Hafi
        Ketakutan kepada Allah adalah sebenar-benar harta yang hanya dimiliki oleh hati para hamba yang benar-benar bertakwa. Perasaan takut bukanlah dengan bercucuran air mata lantas dilap dengan kedua -dua tangan seseorang. Ketakutan yang sebenar adalah kamu mampu meninggalkan segala dosa yang akan mengundang azab-Nya.
c)      Imam Qusyairy
        Takut kepada Allah berarti takut terhadap hukumNya. Menurutnya khauf adalah masalah yang berkaitan dengan kejadian yang akan datang, sebab seseorang hanya merasa takut jika apa yang dibenci tiba dan yang dicintai sirna. Dan realita demikian hanya terjadi di masa depan.

d)     Sayyid Ahmad bin Zain al-Habsyi
       Khauf adalah Suatu keadaan yang menggambarkan resahnya hati karena menunggu sesuatu yang tidak disukai yang diyakini akan terjadi dikemudian hari.      
e)        Al Ghazali
        Khauf adalah rasa sakit dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak disenagi dimasa sekarang.

Menurut Al Ghazali Khauf terdiri dari tiga tingkatan atau tiga derajat
diantaranya adalah:
a)      Tingkatan Qashir (pendek), Yaitu khauf seperti kelembutan perasaan yang  dimiliki wanita, perasaan ini seringkali dirasakan tatkala mendengarkan ayat-ayat Allah dibaca.
b)      Tingkatan Mufrith (yang berlebihan), yaitu khauf yang sangat kuat dan melewati batas kewajaran dan menyebabkan kelemahan dan putus asa, khauf tingkat ini menyebabkan hilangya kendali akal dan bahkan kematian, khauf ini dicela karena karena membuat manusia tidak bisa beramal.[3]
c)      Tingkatan Mu’tadil (sedang), yaitu tingkatan yang sangat terpuji, ia berada diantara khauf qashir dan mufrith.[4]

         Dalam kitabnya Ihya Ulumuddin Al Ghazali juga membagi khauf kedalam tiga tingkatan yaitu :
a)      Khauf al awam (takutnya orang awam), yaitu takut akan hukuman dan keterlambatan pahala.
b)      Khauf al khashshah (takutnya orang khusus), yaitu takut akan keterlambatan teguran.
c)      Khauf al khashshah al khashshah (takutnya orang yang paling khusus), yaitu takut akan ketertutupan dengan nampaknya keburukan budi pekerti.[5]


2.         Pengertian Raja’
         Secara bahasa raja’ artinya mengharapkan. Apabila dikatakan rajaahu maka artinya ammalahu “dia mengharapkannya”. Syaikh Utsaimin berkata: “Raja’ adalah keinginan seorang insan untuk mendapatkan sesuatu baik dalam jangka dekat maupun jangka panjang yang diposisikan seperti sesuatu yang bisa digapai dalam jangka pendek.[6]
        Secara istilah yang dimaksud dengan raja’ adalah menginginkan kebaikan yang ada di sisi Allah ‘azza wa jalla berupa keutamaan, ihsan dan kebaikan dunia akhirat. Dan raja’ haruslah diiringi dengan usaha menempuh sebab-sebab untuk mencapai tujuan.
Adapun para ulama tasawuf mengemukakan makna raja’ adalah sebagai berikut:
a)      Hasan Al Bashri
       Raja’ adalah sikap mental optimisme dalam memperoleh karunia dan nikmat ilahi yang di sediakan bagi hamba-hambanya yang shaleh.
b)     Imam Qusyairy
       Raja’ adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diingikannya tejadi di masa yang akan datang.
c)      Abu Abdullah bin khafif
       Raja’ adalah senangnya hati karena melihat kemurahan yang tercinta yang kepada Nya harapan dipautkan dan menganggap adanya fadal sebagai tanda harapan yang pasti.
d)    Ibn al-Qayyim  
       Raja’ adalah cinta kepada apa yang diharapkannya, takut harapannya hilang dan berusaha untuk mencapai apa yang diharapkannya.



e)        Ahmad bin Ashim al-Anthaky
      Sikap seorang hamba yang manakala ia menerima nikmat anugerah (ihsan), ia terilhami untuk bersyukur, penuh harap akan penuhnya rahmat Allah swt di dunia dan penuhnya pengampunanNya di akhirat.   

f)       Al Ghazali
     Raja’ adalah perasaaan hati yang senang menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi serta rasa lapang hati dalam menantikan hal yang diharapkan di masa yang akan datang yang mungkin terjadi.[7]

Dalam kitabnya Ihya Ulumuddin Al Ghazali juga membagi raja’ kedalam tiga tingkatan yaitu :
a)                 Raja’ al awam (harapan orang awam),
yaitu harapan memdapatkan sebaik-baiknya tempat kembali dan sebanyak-banyaknya pahala.
b)                 Raja’ al khashshah (harapan orang khusus),
yaitu harapan memperoleh ridha dan selalu dekat dengan Allah SWT.
c)                  Raja’ al khashshah al khashshah (harapan orang yang paling khusus), yaitu harapan kemungkinan untuk syuhud (menyaksikan) dan meningkatkan pengetahuan mengenai rahasia-rahasia Allah.[8]









B.     Dasar–Dasar Al Quran Tentang Sikap Khauf Dan Raja’
1.     Dasar Al Quran Tentang Al-Khauf
        surah al-Qasas ayat 21 surah al-Naml ayat 10 dan surah al-Qasas ayat 33. Ayat tentang khauf yang lain diantaranya dalam surah az-Zumar ayat 13, al-Nur ayat 37, al-Insan ayat 10 yang menunjukkan ketakutan pada siksaan hari akhir. Sedang khauf dalam surah Asy-Syuara’ ayat 14.
فَخَرَجَ مِنْهَا خَائِفًا يَتَرَقَّبُ ۖ قَالَ رَبِّ نَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ(21)
Artinya : Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berdoa: "Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu". ( Q.s Al-Qashas : 21)
2.         Dasar Al Quran Tentang Al-Raja’
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا(57)
Artinya :"Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepadaRabb mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut adzab-Nya."(Al-Isra': 57).

C.    Hakikat Sikap Khauf Dan Raja’  
            Khauf (takut) dan raja’ (harap) adalah dua ibadah yang sangat agung. Bila keduanya menyatu dalam diri seoarang mukmin, maka akan seimbanglah seluruh aktivitas kehidupannya. Sebab dengan khauf akan membawa dirinya untuk selalu melaksanakan ketaaatan dan menjauhi perkara yang diharamkan, sementara  raja’ akan menghantarkan dirinya untuk selalu mengharap apa yang ada di sisi rabb nya ‘azza wa jalla.[9]
        Dengan khauf dan raja’ seorang mukmin akan selalu ingat bahwa dirinya akan kembali ke hadapan sang pencipta (karena adanya rasa takut), disamping ia akan bersemangat memperbanyak amalan-amalan (karena adanya pengharapan).
 Dalam sebuah hadits pernah diriwayatkan sebagai berikut:
Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, “apa mereka itu (yang dimaksud dalam ayat diatas) adalah orang yang meminum khamr, berzina, dan mencuri?” Rasulullah SAW menjawab, “bukan wahai putri Ash Shiddiq. Justru mereka adalah orang-orang yang melakukan shaum, shalat, dan bersadaqah dan mereka khawatir tidk akan diterima amalannya. Mereka itulah orang-orang yang bergegas dalam kebaikan.” (HR. At Tirmidzi dari Aisyah).[10]

1.   Hakikat Khauf
Khauf adalah ibadah hati. Tidak dibenarkan khauf ini kecuali kepada Nya Subhanahu wa Ta’ala. Khauf adalah syarat pembuktian keimanan seseorang.
Apabila khauf kepada Allah SWT berkurang dalam diri seseorang, maka ini sebagai tanda mulai berkurangnya pengetahuan dirinya terhadap Rabb nya, sebab orang yang paling tahu tentang Allah adalah orang yang paling takut kepada Nya.[11]
           Rasa khauf akan muncul dengan sebab beberapa hal, diantaranya :
Pertama, bila seorang hamba mengetahui dan menyakini hal-hal yang tergolong pelanggaran dan dosa-dosanya serta kejelekan-kejelekannya.
Kedua, pembenarannya akan adanya ancaman Allah SWT bahwa Allah SWT akan menyiapkan siksa atas segala kemaksiatan.
Ketiga, dia mengetahui akan adanya kemungkinan penghalang antara  dirinya dan taubatnya.

2.      Hakikat Raja’
Raja’ adalah bergantungnya hati dalam meraih sesuatu di kemudian hari. Raja’ merupakan ibadah yang mencakup kerendahan dan ketundukan, tidak boleh ada kecuali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Memalingkan kepada selain Allah SWT adalah kesyirikan,bias berupa syirik besar ataupun syirik kecil tergantung apa yang ada dalam hati orang yang tengah mengharap.[12]
Raja’ tidaklah menjadikan pelakunya terpuji kecuali bila disertai amalan. Berkata Ibnu Qayyim dalam kitabnya “Madarijus Salikin” : “ bahwa raja’ tidak akan sah kecuali jika di barengi dengan amalan. Oleh karena itu tidaklah seorang dianggap mengharap jika tidak beramal.
Ibnu Qayyim membagi raja’ menjadi  tiga bagian, dua diantaranya raja’ yang benar dan terpuji pelakunya sedangkan yang lainnya tercela. Raja’ yang menjadikan pelakunya terpuji adalah :
Pertama, seseorang mengharap disertai dengan amalan taat kepada Allah SWT, diatas cahaya Allah SWT, ia senantiasa mengharap pahala Nya.
Kedua, seseorang yang berbuat dosa lalu bertobat darinya dan ia senantiasa mengharap ampunan Allah SWT dan kebaikan Nya dan kemurahan Nya.
Adapun yang menjadikan pelakunya tercela adalah seseorang yang terus menerus dalam kesalahan-kesalahannya lalu mengharap rahmat Allah SWT tanpa di barengi amalan, maka raja’ seperti ini hanyalah angan-angan belaka, sebuah harapan yang dusta.
 Raja’ menuntut adanya khauf dalam diri seorang mukmin, yang dengan itu akan memacunya untuk melakukan amalan-amalan sholeh, tanpa disertai khauf, raja’ hanya akan bernilai sebuah fatamorgana. Sebaliknya khauf juga menuntut adanya raja’, tanpa raja’ khauf hanyalah berupa keputusan tak berarti.
Jadi khauf dan raja’ harus senantiasa menyatu dalam diri seorang mukmin dalam rangka menyeimbangkan hidupnya untuk tetap istiqamah melaksanakan perintah Nya dan menjauhi larangan Nya. Mengharap pahala dan takut akan siksa Nya. Keduanya ibarat dua sayap burung yang dengannya dapat menjalani kehidupannya dengan sempurna.[13] 

D.    Manfaat dari Al-Khauf Dan Al-Raja’
Keharusan seseorang memiliki rasa takut didasarkan atas dua hal:
        Pertama agar terhindar dari kemaksiatan, sebab nafsu yang senantiasa mengajak berbuat jahat itu cenderung melakukan hal yang tidak baik. Nafsu tidak akan berhenti berbuat jahat kecuali jika diancam. Cara mengatasi nafsu harus dicambuk sehingga dapat membuatnya jerah dan takut, baik berupa ucapan, tindakan, atau pikiran.
         Kedua agar tidak membangga-banggakan amal solehnya (ujub). Sebab jika sampai berbuat ujub maka dapat menimbulkan celaka dan nafsu itu tetap harus dipaksa dengan dicela dan dihinakan mengenai apa yang ada padanya, berupa kejahatan, dosa-dosa dan berbagai macam bahaya lainnya.[14]

Adapun keharusan memiliki rasa raja’ juga dikarenakan dua hal, yaitu:
        Pertama agar bersemangat melakukan ketaatan, sebab berbuat baik itu berat dan syaitan selalu mencegahnya. Hawa nafsu selalu mengajak pada perbuatan yang jelek dan tidak baik. Kebanyakan orang memenuhi hawa nafsunya, sedangkan pahala itu tidak kelihatan, dengan demikian tentu nafsu tidak mau dan tidak semangat dalam melakukan kebaikan. Dalam menghadapi hal ini harus dihadapi dengan raja’, yakni rasa mengharap rahmat Allah dan kebaikan pahalanya agar senantiasa bersemangat dalam beribadah dan berbuat baik.
Kedua agar terasa ringan menanggung rasa kesulitandan kesusahan. Karena jika seseorang telah mengetahui sesuatu yang telah menjadi tujuantentu seseorang tersebut akan rela berbuat apapun dan mengeluarkan apapun demi tercapainya tujuan tersebut.[15]
           Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Ia memasukkan kedua sifat itu dengan etika-etika, keagamaan lainnya, yakni, ketika disifati dengan khauf dan raja’, seseorang secara bersamaan disifati pula oleh sifat-sifat lainnya. Pangkal wara’, menurutnya adalah ketakwaan, pangkal ketakwaan adalah introspeksi diri (musabat Al-nafs), pangkal introspekasi diri adalah khauf dan raja’, pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah,  pangkal pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan.[16]





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
           Khauf  adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya, takut atau khawatir kalau-kalau Allah tidak senang padanya. Sedangkan raja’ adalah menginginkan kebaikan yang ada di sisi Allah ‘azza wa jalla berupa keutamaan, ihsan dan kebaikan dunia akhirat
          khauf dan raja’ harus senantiasa menyatu dalam diri seorang mukmin dalam rangka menyeimbangkan hidupnya untuk tetap istiqamah melaksanakan perintah Nya dan menjauhi larangan Nya.                           .
B.     Kritik dan saran
          Alhamdulillah kami sebagai Penulis sudah menyelesaikan makalah ini, semoga dapat menjadi refrensi yang menambah luas ilmu pengetahuan para pembaca, tentu dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan yang kami buat,baik itu disengaja maupun tidak disengaja.Oleh karena itu, kami selaku penulis menerima kritik dan saran demi tercapainya penulisan makalah yang maksimal.






                                              









                                         DAFTAR PUSTAKA
Anwar Rosibon dan Mukhtar Solihin,  Ilmu Tasawuf, ( Bandung: Pustaka Setia,2004)

Faruq Umar  Al-Risalah Qusyairiyah Fi Al-Ilmi Al-Tashawuf (terj), (Jakarta: Pustaka Amani,2002)

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus Salikin, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2010)

Jumantoro Totok dan Amin Munir Samsul, Kamus Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Penerbit Amzah, 2005)
Sholihin Muhammad, Tokoh-tokoh sufi lintas zaman, (Bandung: Pustaka Setia, 2003)

Syaikh Muhammad bin Sholih, Syarh Tsalatsatul Ushul, (Mesir: Daruts Tsaroya, 2005)

Syaikh Zaid bin Muhammad , Thariqul Wushul Ila Idhohits Tsalatsatul Ushul, (Mesir: Darul Mustaqbal, 2012)

Yakub Ismail, Ihya Ulumuddin (terj), (singapura : Pustaka Nasional, 2007)









[1] Syaikh Muhammad bin Sholih, Syarh Tsalatsatul Ushul, (Mesir: Daruts Tsaroya, 2005) Cet.2 hal. 56
[2] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Penerbit Amzah, 2005) hal. 183

[3] Ismail Yakub, Ihya Ulumuddin (terj), (singapura : Pustaka Nasional, 2007) Jil.4 hal. 32
[4] Rosibon Anwar dan Solihin Mukhtar,  Ilmu Tasawuf, ( Bandung: Pustaka Setia,2004)  hal. 75
[5] Ibid.
[6] Syaikh Muhammad bin Sholih, Syarh Tsalatsatul Ushul, (Mesir: Daruts Tsaroya, 2005) Cet.2 hal.57-58
[7] Syaikh Zaid bin Muhammad , Thariqul Wushul Ila Idhohits Tsalatsatul Ushul, (Mesir: Darul Mustaqbal, 2012) Cet.1 hal. 136
[8] Ismail Yakub, Ihya Ulumuddin (terj), (singapura : Pustaka Nasional, 2007) Jil.4 hal. 77

[9] Syaikh Muhammad bin Sholih, Syarh Tsalatsatul Ushul, (Mesir: Daruts Tsaroya, 2005) Cet.2 hal. 132
[10] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus Salikin, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2010) hal.167-168
[11] Syaikh Muhammad bin Sholih, Syarh Tsalatsatul Ushul, (Mesir: Daruts Tsaroya, 2005) Cet.2 hal. 137
[12] Ibid
[13] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus Salikin, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2010) hal 197
[14] Umar Faruq,  Al-Risalah Qusyairiyah Fi Al-Ilmi Al-Tashawuf (terj), (Jakarta: Pustaka Amani,2002)  hal. 156
[15] Ibid. hal. 157
[16] Muhammad Sholihin, Tokoh-tokoh sufi lintas zaman, (Bandung: Pustaka Setia, 2003) hlm.60


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Akhlaq Tasawuf Kelompok 13

Ini dia Hulul dan wahdatul wujud

Refleksi kuliah dan Persiapan Uas Pkn